Rabu, 07 November 2012

CINTA TANPA DEFINISI *Anis Matta*

Cinta Tanpa Definisi

Seperti angin membadai. Kau tak melihatnya. Kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat.

Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang: seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuasaan besar.

Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua jadi abu. Semua jadi tiada. Seperti itulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kekuatan angkara murka yang mengawal dan melindungi kebaikan.

Cinta adalah kata tanpa benda, nama untuk beragam perasaan, muara bagi ribuan makna, wakil dari kekuatan tak terkira. Ia jelas, sejelas matahari. Mungkin sebab itu Eric Fromm ~dalam The Art of Loving~ tidak tertarik ~atau juga tidak sanggup~ mendefinisikannya. Atau memang cinta sendiri yang tidak perlu definisi bagi dirinya.

Tapi juga terlalu rumit untuk disederhanakan. Tidak ada definisi memang. Dalam agama, atau filsafat atau sastra atau psikologi. Tapi inilah obrolan manusia sepanjang sejarah masa. Inilah legenda yang tak pernah selesai. Maka abadilah Rabiah Al-Adawiyah, Rumi, Iqbal, Tagore atau Gibran karena puisi atau prosa cinta mereka. Abadilah legenda Romeo dan Juliet, Laela Majenun, Siti Nurbaya atau Cinderela. Abadilah Taj Mahal karena kisah cinta di balik kemegahannya.

Cinta adalah lukisan abadi dalam kanvas kesadaran manusia. Lukisan. Bukan definisi. Ia disentuh sebagai sebuah situasi manusiawi, dengan detail-detail nuansa yang begitu rumit. Tapi dengan pengaruh yang terlalu dahsyat. Cinta merajut semua emosi manusia dalam berbagai peristiwa kehidupannya menjadi sublim: begitu agung tapi juga terlalu rumit. Perang berubah menjadi panorama kemanusiaan begitu cinta menyentuh para pelakunya. Revolusi tidak dikenang karena geloranya tapi karena cinta yang melahirkannya. Kekuasaan tampak lembut saat cinta memasuki wilayah-wilayahnya. Bahkan penderitaan akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang melatarinya: seperti Gibran yang kadang terasa menikmati Sayap-sayap Patah-nya.

Kerumitan terletak pada antagoni-antagoninya. Tapi di situ pula daya tariknya tersembunyi. Kerumitan tersebar pada detail-detail nuansa emosinya, berpadu atau berbeda. Tapi pesonanya menyebar pada kerja dan pengaruhnya yang teramat dahsyat dalam kehidupan manusia.

Seperti ketika kita menyaksikan gemuruh badai, luapan banjir atau nyala api, seperti itulah cinta bekerja dalam kehidupan kita. Semua sifat dan cara kerja udara, api dan air juga terdapat dalam sifat dan cara kerja cinta. Kuat, Dahsyat, Lembut, Tak terlihat. Penuh haru biru. Padatmakna. Sarat gairah. Dan, anagonis.

Barangkali kita memang tidak perlu definisi. Toh kita juga tidak butuh penjelasan untuk dapat merasakan terik matahari. Kita hanya perlu tahu cara kerjanya. Cara kerjanya itulah definisi: karena ~kemudian~ semua keajaiban terjawab disini. ~ Anis Matta ~


Jumat, 19 Oktober 2012

hanya sebuah karya jemari tentang Kehidupan yang Sebenarnya



Tentang Kehidupan yang Sebenarnya “....”

semua seperti halnya tidak terjadi apa-apa
ya,,,,
tersenyum, bergerak, berpikir sejenak, lalu bilang “iya”,,
seperti dilema para romusa
tidak punya hak untuk bilang “tidak mau”, “tidak boleh” atau “tidak bisa”
hanya kata “iya,, tidak apa-apa”
tidak peduli perasaan diri, yang ada hanya sebuah persepsi melintas bahwa “mempersilahkan atau akan menemui masalah”
seperti itulah yang terjadi,
demi sebuah kata bernama “menghargai”
selalu mengalah, melukai hati sendiri
tentang “privasi”, jangan ditanya
itu cerminan bahwa “hidup itu harus berbagi” 

          jangan takut,, Ia Maha Adil
          berdoalah, berlindunglah kepadaNya
          masalah “hati” pun itu telah menjadi urusanNya
          teruslah berusaha untuk selalu dekat denganNya
          ikhlaslah atas skenario yang telah Ia rencanakan untukmu :)





hanya sebuah goresan tangan mengenai “imajinasi” tentang kehidupan,,,,

Sabtu, 13 Oktober 2012

anginpun bersinonim

membuat angin datang, atau mengusir angin yang sudah terlanjur datang?? Dua hal yang sama-sama tidak ada pemecahannya....
kau tau bagaimana angin itu?
ia bisa datang sewaktu-waktu, entah kapan, dimana, seperti apa, tidak ada yang tau,
ia tak berwujud, hadirnya hanya bisa dirasakan, kadang datang perlahan, membuai, menyejukan, atau..... datang mengguncang, memporakporandakan...
tidak ada  yang tau juga kapan ia beranjak pergi.... datang, singgah, atau hanya melewati.....
entahlah.....
angin,,,, kita tidak dapat mencegahnya, tapi aku bisa menghindarinya....



Rabu, 10 Oktober 2012


aku, kamu dan banyak hal di sekitar kita :)

aku
batu kecil yang tak bisa bergerak, kalaupun berpindah karena ada yang mengambil kemudian melemparkanku,
bintang itu benda yang indah di dunia ini,
merah itu warna penyemangat, bukan tanda kemarahan, apalagi lambang setan,
menulis itu lebih sederhana daripada berbicara, mengadu,,,,

kamu
seperti elang, kau terbang kemanapun,
langkah pasti penuh misi
coretan jadi inspirasi
jauh, mendekati kata tak terdefinisi

sekitar kita
tanpa dialog tanpa kata
menjadikan pada satu tempat yang sama
tak perlu apa-apa
hanya sebuah pertanyaan kenapa kita ada?



Senin, 01 Oktober 2012

Ditemukan pada tanggal 19 Juli 2012


Sebuah tulisan karya Ikrima Ghandy, yang sangat menyentuh....
dengan syair yang berbobot namun tak memberatkan, dengan kata-kata yang ringan namun bermutu dan tepat sasaran....


dilema...

pernah, dibalik raga yang tanpa daya
terlalu angkuhnya untuk mengungkap rasa
atau tak berani jujur, aku manusia biasa
ada ketakutan, ketakutan berlebihan
terluka, kecewa, merana
meski semua itu hiasan cinta....

pernah, hati ini jujur terbuka
bahkan percaya sepenuhnya
kiranya bukan cinta berbalas cinta
dua hati berbeda rasa
bukan menuai kasih tapi salah menuai benih
ceceran tersisa perih..pedih..

pernah, sekujur badan ini terpaku
keindahan.... sempurnanya penciptaan
kiranya bukan juga untukku dia diciptakan
rindu-rindu kian damba pertemuan

pernah, hati menyadari
hakekatnya cinta karunia Ilahi
mencintailah karena Dia mencintai
dan kebencian itu,
hanya apa yang Dia benci

pikirkanlah,
nafas-nafas yang tiada ujung pangkalan
yang maya, mengapa tumbuhkan harapan
yang semu, mengapa kau jadikan tumpuan
rindu itu bertaut, bukan dengan bayangan

pikirkanlah,
kepada siapa berlabuhnya sebuah hati
berapa lama lagi engkau akan bermimpi
raga semakin ringkih membawa diri
raga kian tak sabar menunggu mati

haii jiwa,
kegersangan merindu siraman
kehausan jangan membawamu meneguk lautan
sesuatu tengah dicari, belum lagi kau temui
akankah di sini engkau dapati
kian maya saat dirasa nyata
jangan bersandar pada nyanyian indah
jangan berkaca pada cermin yang pecah
bersandarlah di tepi malam
ketika selimut membuai setiap hati insan
percayalah pada kekuatan doa
karena Dia maha mengabulkan....

sebuah tulisan yang artistik sekali,,,, semoga bermanfaat dan menginspirasi ^_^

Selasa, 17 April 2012

Sedikit Perenungan

Dulu kalau aku tak begitu, kini bagaimana aku?
Dulu kalau aku tak di situ, kini dimana aku?
Kini kalau aku begini, kelak bagaimana aku?
Kini kalau aku di sini, kelak dimana aku?

tak tahu kelak ataupun dulu
yang aku tahu kini aku begini
yang aku tahu kini aku di sini
dan aku ...

*starAholic